Sejarah Terbentuknya GPdI Bagian I (Tahun 1920 – 1930)
Sejarah GPdI Tahun 1920 – 1930
Pada tanggal 4 Januari 1921, empat orang mantan perwira Bala
Keselamatan, yaitu Richard Dick, Christine Van Klaverans dan Cornelius
Groesbeck beserta putri-putri mereka (Jennie, 12.5 tahun dan Corie
Groesbeek, 6 tahun), warga negara Amerika keturunan Belanda ini
berangkat dari Seattle ke Indonesia dengan kapal laut Suamaru ke
Yokohama, Osaka, singgah di China, lalu ke Pulau Jawa.
Tanggal 23 Pebruari, mereka tiba di Batavia (Jakarta). Dari Jakarta
melalui Mojokerto, Surabaya, Banyuwangi dengan menumpang kapal
Varkenboot mereka tiba di Singaraja, Bali pada bulan Maret 1921.
Kemudian menetap di Denpasar dalam sebuah gedung kopra dengan lantai
batu bata yang telah hancur dan atap bangunan terbuat dari rumbia.
Letak gudang ini berada pada suatu taman yang berseberangan dengan
pura Hindu. Gudangnya hanya berupa sebuah ruangan empat persegi dimana
sebagian ruangan disekat untuk dijadikan 3 kamar tidur. Satu untuk
suami isteri Groesbeck, satu untuk keluarga Van Klaveren dan satu lagi
untuk Jennie dan Corrie. Sisanya merupakan sebuah ruangan besar yang
luas yang berfungsi baik sebagai ruang tinggal (Living Room), ruang
makan maupun sebagai dapur, dan sebuah kamar mandi.
Dengan penuh kesulitan mereka mulai menabur benih Injil Sepenuh dari
rumah ke rumah. Mereka dengan sepeda mengunjungi desa-desa, berhenti
untuk bercakap-cakap dengan penduduk dan menanyakan apakah diantara
mereka ada yang sakit. Bila ada, mereka didoakan, dan Tuhan
menyembuhkan mereka. Mula-mula Tuhan bekerja dengan cara demikian.
Orang-orang yang beragama protestan belum pernah mendengar penyembuhan
dengan cara ini atau tentang baptisan air dan kepenuhan Roh Kudus.
Banyak orang yang mempunyai luka bernanah datang kerumah mereka.
Mereka menyobek seprei-seprei lama menjadi semacam perban untuk
membalut luka-luka tersebut. Baru dikemudian hari diketahui bahwa
mereka menderita penyakit kusta. Mereka semua didoakan. Karena begitu
banyak orang yang datang ke rumah itu untuk mohon didoakan dan menerima
kesembuhan, maka penduduk setempat bermaksud jahat terhadap mereka.
Didepan rumah tersebut terdapat sebuah pagar kecil dan selokan
sepanjang jalan. Diatas selokan terdapat sebuah jembatan kecil yang
menuju rumah. Hari berikutnya penduduk Bali menceritakan tentang rencana
jahat itu. Mereka tidak dapat melaksanákan rencana tersebut karena
mereka melihat malaikat-malaikat yang berdiri di pintu masuk rumah.
Tuhan telah membela mereka.
Apa yang mereka kerjakan di sana juga telah mengundang reaksi keras
imam-imam Hindhu. Hal ini mendorong Pemerintah Belanda melarang hamba
Tuhan ini menetap dan menginjil di Bali dengan alasan takut merusak
kebudayaan asli penduduk Bali. Seringkali mereka mengirim agen-agen
dari dinas rahasia untuk memata-matai selama kebaktian berlangsung
karena mereka menyangka bahwa mereka adalah orang Bolsjewik. Mereka
senang, bahwa dengan jalan demikian si mata-mata dapat mendengarkan
kabar Injil.
Oleh sebab itulah maka keluarga Van Klaverens harus meninggalkan
Bali dalam waktu 3 hari. Karenanya, setelah sekitar 21 bulan berada di
Bali, ketika menjelang Natal tahun 1922, kedua keluarga ini berangkat
ke Surabaya, kemudian keluarga Rev.Richard van Klaverans menuju ke
Batavia. Di Surabaya, Rev.Cornelius E.Groesbeek berkenalan dengan
Ny.Wijnen yang mempunyai seorang keponakan yang bekerja di BPM Cepu
(Shell), yaitu Sdr. F.G.Van Gessel. Dengan perantaraan Ny.Wijnen yang
telah menerima kesembuhan Illahi lewat pelayanan Rev.Cornelius
E.Groesbeek, maka Sdr.Van Gessel dapat berjumpa dan berkenalan dengan
beliau.
Sdr.Van Gessel menyambut hangat Rev.Groesbeck karena memang telah
lama dia ingin lebih mengerti dan mendalami Injil yang selama ini
dibacanya. Berita Pantekosta disambutnya dengan penuh sukacita, lalu
pada bulan Januari 1923 dimulailah kebaktian Pantekosta yang pertama di
Deterdink Boulevard, Cepu. F.G.Van Gessel dengan istri, pegawai
tinggi BPM bergaji F.800 (800 Gulden), bertobat dan menerima Injil
Sepenuh. Kebaktian itu berlangsung terus dengan baik dan jumlah
pengunjung bertambah hingga mencapai 50 orang.
Kebaktian di Cepu ini mengalami tantangan keras. Mereka diejek,
diolok, dan dituduh sebagai aliran yang menyesatkan. Ds.Hoekendijk
menegaskan bahwa kebaktian Pantekosta yang di Cepu dan mujizat yang
terjadi didalamnya berasal dari Setan. Namun demikian, Tuhan bekerja
luar biasa. Tiga bulan kemudian pada 30 Maret 1923 terjadi suatu
peristiwa penting yang menjadi salah satu tonggak sejarah Gereja
Pantekosta di Indonesia. Benih Injil Sepenuh yang ditabur dengan
linangan air mata sejak Maret 1921 di Bali, mengeluarkan buah pertama
dengan diadakannya baptisan air di Pasar Sore Cepu bagi 13 orang.
Baptisan ini dilakukan oleh Rev.Cornelius E.Groesbeck dan dibantu oleh
Rev.J.Thiessen, seorang missionary dari Belanda. Di antara 13 orang
itu terdapat suami istri F.G.Van Gessel, suami istri S.I.P.Lumoindong
dan Sdr.Agust Kops.
Antara tahun 1923-1928 jemaat di Cepu menghasilkan tidak kurang dari
16 hamba Tuhan yang menjadi pioner-pioner Gereja Pantekosta di
Indonesia dan menyebar ke Sumatra, Jawa, Sulawesi dan Maluku. Diantara
meraka adalah: F.G Van Gessel, S.I.P Lumoindong, W.Mamahit, Hessel
Nogi Runkat, Effraim Lesnussa, Frans Silooy, R.O.Mangindaan, Arie
Elnadus Siwi, Julianus Repi, Alexius Tambuwun, G.A.Yokom dan J.Lumenta.
Pada tanggal 19 Maret 1923 berdirilah Vereeniging De
Pinkstergemeente in Nederlandsch Oost Indie yang berkedudukan di
Bandung dengan susunan pengurus sebagai berikut:
Ketua: Pdt. D.H.W.Weenink Van Loon
Sekretaris: Pdt.Paulus
Bendahara: Pdt.G.Droop
Dan pada tanggal 30 Maret 1923, badan tersebut mendapat SK Gubernur
Hindia Belanda dengan Badan Hukum No. 2924, tertanggal 4 Juni 1924 di
Cipanas, Jawa Barat, serta diakui sebagai Kerkgenootscap (Badan Gereja)
dengan Beslit No. 33, Staatblad No. 368. Perkembangan selanjutnya,
gerakan ini dengan cepat menyebar dari Surabaya ke seluruh Jawa Timur,
Sumatera Utara, Minahasa, Maluku dan Irian.
Disamping Pengurus diatas yang bertanggung jawab terhadap
Pemerintah, maka diadakan pula suatu Convent hamba-hamba Tuhan yang tua
terdiri dari :
Pdt. F.G.Van Gessel
Pdt. Weenink Van Loon
Pdt. F.Van Abkoude
Pdt. D.Van Klaverans & Istri
Pdt. H.Horstman
Pdt. M.A.Alt.
Pada tahun 1924, Gereja Bethel Temple mengirim sebuah tenda besar
yang dapat dipasang untuk kebaktian. Rev.Groesbeck berkhotbah dalam
bahasa Belanda dan ada orang yang mènterjemahkan. Dan ternyata ada
banyak jiwa diselamatkan dan dipenuhi dengan Roh Kudus. Saat itu juga
mereka mulai belajar bahasa Indonesia. Sewaktu di Bali-pun Tuhan
sungguh heran dan Tuhan menyediakan orang yang menterjemahkan bila
Rev.Groesbeck berkhotbah. Jennie kemudian juga belajar untuk berbahasa
Jawa.
Di tahun 1926, Sdr.Nanlohy mulai memberitakan Injil sepenuh di
Amahasa dengan mengalami banyak tantangan. Mayoritas penduduk kepulauan
Maluku adalah beragama Kristen, namun kehidupan kekristenan didaerah
ini adalah agama nenek moyang. Kemudian datang Sdr.Kipur, Sdr.Tumbel
disusul Sdr.Yocom, Sdr.Yoop Seloey dan Sdr.Rikihena. Dengan demikian
Injil sepenuh menjalar keberbagai pelosok Maluku.
Pada bulan Maret 1927 Sdr.Groeneveld seorang pegawai doane di
Balikpapan, Kalimantan Timur mulai mengadakan persekutuan doa/kebaktian
rumah tangga. Pada tahun 1930 Pdt.Debur datang dan memberitakan Injil
di kota ini juga. Kèmudian disusul Pdt.Pattirajawane lalu datang pula
Rev.Wassel.
Pelopor Injil Sepenuh yang patut dicatat untuk daerah Kalimantan
Selatan adalah sdr.Pattirajawane, disusul sdr.Graaftal, kemudian
sdr.J.J.Walewangko pegawai BPM, disusul pula sdr.Liem Hwa Seng.
Sdr.Yonathan Itar adalah pelopor Injil sepenuh di pulau Irian Jaya
yang luas ini. Perjuangan beliau sangat berhasil sehingga saat ini
telah ada lebih dari 350 gereja Pantekosta di Irian Jaya. Ditempat ini
juga ada Sekolah Alkitab untuk mendidik calon-calon hamba Tuhan.
Daerah Istimewa Yogyakarta yang diperintah oleh Sri Sultan, kota
yang dijuluki sebagai kota “gudeg” dan ‘kota mahasiswa/pelajar.”
mendapat lawatan Tuhan. Gereja Pantekosta di Indonesia Yogyakarta mulai
diperkenalkan ketika Pendeta S.I.P.Lumoindong membuka kebaktian
pertama tahun 1928 di jalan Ngupasan. Kemudian antara tahun 1928-1930
tempat kebaktian dipindahkan ke jalan Góndomanan dan jalan Yudonegaran,
yang dipimpin pendeta Abkoede dibantu Pdt.Jóhan Van Der Lip dan
adiknya Pdt.Piet Van Der Lip.
Kemudian dengan memakai nama ‘De Pinkster Gemeente’ mereka berpindah
lagi ke Ngadiwinatan dan empat tahun kemudian pindah ke Poncowinatan
dilayani oleh Pdt.Theunis Andriesse. Ternyata di tempat baru itu
mereka hanya bertahan beberapa bulan dan kemudian dipindah lagi ke
Ronodigdayan menempati rumah kecil yang sangat sederhana.
Beberapa waktu kemudian Ny. Smith membuka sendiri kebaktian De
Pinkster Gemeente di jalan Sindunegaran, Bumijo, dan seorang pengusaha
Go Djoen Bok mengusahakan rumah yang lebih strategis di jalan Tugu
Kulon (sekarang Jl.P.Diponegoro) no:28 hingga sekarang. Sedang tempat
kebaktian di Ronodigdayan karena keuangan gereja lebih lemah dibanding
dengan gereja di Tugu Kulon kemudian dipindahkan ke Bausasran Kidul
dibawah pimpinan Pdt.Christ Van Thiel. Kemudian dibuka lagi dua gereja
masing-masing oleh Pdt.Johan Van Der Lip dengan nama Pinkstervreugd di
jalan Ngupasan dan Pdt.Piet Van Der Lip dengan nama Pinksterzending di
Sosrowijayan.
De Pinkstergemeente Bausasran semakin berkembang sehingga tempat
kébaktian tidak bisa menampung jemaat yang ada sehingga mereka
dipindahkan ke jalan Lempuyangan 15 (sekarang Jl.Hayam Wuruk). Pembantu
pendeta pada waktu itu ada 5 orang, salah seorang diantaranya adalah
Sdr.The Kiem Koei (Raden Gideon Sutrisno).
Pada tanggal 13 Maret 1929, dua orang pemuda utusan Injil bernama
A.Tambuwun dan J.Repi mendarat di pelabuhan Manado dengan meñumpang
kapal motor “Van Dér Hagen”. Propinsi Sulawesi Utara adalah daerah
Kristen karena mayoritas penduduknya beragama Kristen. Gereja Masehi
Injili Minahasa (GMIM) adalah gereja yang tersebar diseluruh pelosok
Minahasa. Namun Injil sepenuh melalui Pinksterkerk (sekarang GPdI)
kemudian masuk menembus pelayanan di daerah ini.
Kedatangan mereka telah diketahui terlebih dahulu oleh beberapa anak
Tuhan karena Tuhan telah memberitahukan kedatangan mereka melalui
nubuat yang diucapkan oleh Sdr.D.Kalangi. Tanggal 14 Maret 1929 mereka
tiba di Langowan dan diterima dengan sukacita oleh Keluarga W.Saerang.
Langowan sebuah kota kecamatan mendapat kehormatan Injil sepenuh
melalui pemberitaan Pinksterkerk. Kebaktian perdana dihadiri oleh 40
orang. Tuhan bekerja dengan heran. Sdr.W.Saerang mendapat kepercayaan
Tuhan karena Injil Pantekosta diberitakan dirumahnya. Pada kesempatan
Itu Sdr.Alexius Tambuwum pulang kekampung halamannya di Tambeläng, dan
Sdr.Julianus Repi ke Ranomea, maka di masing-masing tempat tersebut
mereka juga memberitakan Injil Sepenuh.
Pada tanggal 1 Desember 1929 diadakan baptisan air perdana bagi
mereka yang telah percaya Kristus sebagai Juru Selamat pribadinya.
Baptisan air ini diikuti oleh 42 orang yang terdiri dan 14 orang dari
Langowan dan 28 orang dan Ranomea Amurang.
8 Nopember 1929 Keluarga J. Lumenta tiba dari Surabaya dan mendarat
di pelabuhan Amurang, dan pada bulan yang sama tiba pula
Sdr.E.Lesnussa, dan pada awal tahun 1930 datang pula hamba Tuhan
Keluarga Albert Jocom. Barisan utusan-utusan Allah untuk pemberitaan
Injil di Sulawesi Utara menjadi makin kuat. Mereka menyebar ke berbagai
pelosok Minahasa dan memberitakan Injil dalam kuasa dan urapan Roh
Kudus. Tahun 1933 datang pula Pdt.Runtuwailan dan Sdr.L.A.Pandelaki ke
Sulawesi Utara untuk memperkuat barisan hamba-hamba Allah.
Pada tahun 1930, tiga dara dari Seattle memenuhi panggilan Tuhan
menjadi penginjil di daerah Jawa dan Kalimantan. Gadis-gadis muda ini
adalah Inice Presho, Iris Bowe, dan Eileen English. Setelah beberapa
saat di Magelang kemudian mereka melayani kebaktian rumah ke rumah di
Solo. Inice Presho kemudian mengadakan pelayanan di Surabaya. Juga
ditahun 1931, Louis Johnson dan Arland Wasell berlayar dari Bethel
Temple dan melayani di Kalimantan, mereka menyeberangi banyak
sungai-sungai besar menuju ke pedalaman dari pulau tersebut melebihi
dari penginjil-penginjil lain yang pernah lakukan sebelumnya. Tapi
akhirnya mereka terpaksa kembali ke Jawa karena Arland Wassel sakit
malaria, dan Inice Presho yang memang juru rawat mengasuhnya.
Arland hampir tidak mampu sampai kerumah karena lelahnya perjalanan
dengan kereta api dari Surabaya. Louis Johnson ternyata mengadakan
hubungan dengan Eileen English dan bertunangan pada hari Valentin di
tahun 1933, yang kemudian diteruskan dengan pernikahan di Magelang dan
pesta diadakan di Solo. Corrie Groesbeek memainkan piano untuk acara
yang berbahagia tersebut.
Pelayanan keluarga Groesbeck periode ke 2 berlangsung selama 8
tahun, yaitu dari Agustus 1930 sampai Oktober 1938. Keluarga Groesbeck
kembali ke rumah mereka pada tahun 1926 dan kembali ke pulau Jawa untuk
perjalanan yang kedua mereka ditahun 1930.
Sumber : GPdI World
Tulisan yang sangat informatif. tetapi jika (karena tidak lagi diteliti lebih cermat) diperhatikan ulang, maka kesalahan kita semua orang GPdI selama ini berulang lagi.
BalasHapusMisalnya dituliskan:
Pada tanggal 19 Maret 1923 berdirilah Vereeniging De Pinkstergemeente in Nederlandsch Oost Indie yang berkedudukan di Bandung dengan susunan pengurus sebagai berikut: dst..
Dan pada tanggal 30 Maret 1923, badan tersebut mendapat SK Gubernur Hindia Belanda dengan Badan Hukum No. 2924, tertanggal 4 Juni 1924 di Cipanas, Jawa Barat, serta diakui sebagai Kerkgenootscap (Badan Gereja) dengan Beslit No. 33, Staatblad No. 368... dst..
Padahal, di tulisan tersebut juga dituliskan:
Tiga bulan kemudian pada 30 Maret 1923 terjadi suatu peristiwa penting yang menjadi salah satu tonggak sejarah Gereja Pantekosta di Indonesia. Benih Injil Sepenuh yang ditabur dengan linangan air mata sejak Maret 1921 di Bali, mengeluarkan buah pertama dengan diadakannya baptisan air di Pasar Sore Cepu bagi 13 orang. Baptisan ini dilakukan oleh Rev.Cornelius E.Groesbeck dan dibantu oleh Rev.J.Thiessen, seorang missionary dari Belanda.. dst..
Ada kekeliruan tanggal dan urusan peristiwa dalam tulisan tersebut.
Untuk memudahkan perlu dilihat secara kronoligis ya om, Yang benar, baptisan Cepu dulu, maka setelah itu berdiri organisasi yang didaftarkan ke stambuk Pemerintah Hindia Belanda di Bandung, lalu mendapatkan SK-Besluit.
Dalam upaya untuk mempublikasikan Pantekostalisme, maka tulisan ini memiliki sumbangan yang pantas dihargai.
BalasHapus